Hutan Hilang, Nyawa Melayang: Mengapa 961 Korban Banjir Sumatera Bukan "Takdir Alam"
Mengapa Banjir Sumatera Bukan Sekadar "Nasib Buruk"?
Akhir November 2025 menjadi saksi kelam bagi masyarakat Sumatera. Banjir bandang dan tanah longsor menerpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dengan dahsyat. Hampir 1.000 jiwa meninggal dunia, ratusan ribu mengungsi, dan ribuan desa luluh lantak. Namun, tahukah kamu bahwa bencana ini bukan murni karena cuaca ekstrem? Ini adalah bencana ekologis yang dipicu oleh ulah manusia tepatnya, deforestasi masif yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Pakar UGM menyebut bahwa banjir bandang November 2025 di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat merupakan salah satu yang terbesar dalam beberapa dekade terakhir. Tragedi ini mendemonstrasikan tren yang memburuk dalam bencana hidrometeorologi seiring intensifikasi deforestasi dan perubahan iklim. Cuaca ekstrem hanya pemicu, sementara keparahan bencana mencerminkan degradasi lingkungan ekstensif dari hulu hingga hilir.
Sementara yang lain masih berpikir ini hanya "bencana alam biasa", data dan fakta membuktikan sebaliknya. Mari kita telusuri akar masalahnya.
Apa Itu Deforestasi dan Mengapa Berbahaya?
Deforestasi adalah penggundulan atau hilangnya hutan secara permanen untuk dialihfungsikan menjadi lahan lain seperti perkebunan sawit, tambang, atau pemukiman. Bedanya dengan penebangan terkontrol? Deforestasi merusak ekosistem secara sistematis dan menghilangkan fungsi vital hutan sebagai penyangga air dan pencegah bencana.
Hutan berfungsi seperti spons raksasa yang menyerap air hujan. Akar pohon mengikat tanah, mencegah longsor, dan memperlambat aliran air ke sungai. Ketika hutan hilang, air hujan langsung meluncur ke permukaan, membawa lumpur, batu, bahkan kayu gelondongan persis seperti yang terjadi di Sumatera.
Data Mengejutkan: Hutan Sumatera Hilang 3,6 Kali Luas Bali
Fakta-fakta tentang deforestasi di Sumatera benar-benar mengkhawatirkan. Data Forest Watch Indonesia menunjukkan bahwa hingga 2024, Sumatera menyisakan hutan alam seluas 12 juta hektare, atau 25% dari total daratan region tersebut. Luas hutan alam berkurang sekitar 2,1 juta hektare setara dengan 3,6 kali luas Pulau Bali hanya dalam waktu 7 tahun.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, tren deforestasi justru meningkat dalam dua tahun terakhir. Pada periode 2023-2024, dalam kurun waktu satu tahun saja, Sumatera kehilangan sekitar 222 ribu hektare hutan alam, atau setara dengan 50 kali luas lapangan sepakbola setiap jamnya.
Di tiga provinsi yang terdampak banjir, situasinya tidak kalah parah. Aceh kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan antara 1990 dan 2020, meskipun masih memiliki tutupan hutan yang relatif luas. Sumatera Utara lebih memprihatinkan dengan tutupan hutan hanya sekitar 29% dari luas wilayah pada 2020. Sumatera Barat kehilangan sekitar 320.000 hektare hutan primer dan 740.000 hektare total tutupan pohon antara 2001-2024, dengan deforestasi mencapai 32.000 hektare pada 2024 saja.
Dari Hutan ke Bencana: Rantai Sebab-Akibat
Direktur Eksekutif JPIK menegaskan bahwa akar persoalan jelas: deforestasi masif dan hilangnya fungsi hidrologis kawasan hulu. Ekosistem penting seperti Batang Toru di Sumatera Utara menjadi korban utama. Ekosistem Batang Toru mengalami deforestasi 72.938 hektar, artinya hutan seluas dua kali Kota Surabaya hilang dalam periode 2016-2024.
Ketika hujan ekstrem terjadi, air langsung mengalir sebagai banjir bandang dan membawa lumpur, batu, serta kayu gelondongan. Video viral yang menunjukkan ribuan kayu gelondongan terseret banjir memicu pertanyaan: dari mana kayu-kayu ini berasal? Banyak material kayu menunjukkan bekas potongan mesin, bukan pohon tumbang alami mengindikasikan adanya operasi pembalakan, baik legal maupun ilegal, di kawasan hulu.
Siapa Dalang di Balik Deforestasi?
Ekspansi industri ekstraktif menjadi pendorong utama. Sumatera telah dijadikan zona pengorbanan untuk tambang minerba, dengan sedikitnya 1.907 wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif seluas 2,45 juta hektare—setara dengan empat kali luas Brunei Darussalam. Belum lagi konsesi perkebunan kelapa sawit yang melampaui kapasitas ekologis. Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Greenpeace menemukan bahwa antara 2016 hingga 2024, sekitar 1,4 juta hektare hutan hilang di ketiga provinsi terdampak. Hilangnya tutupan hutan ini, khususnya di ekosistem kritis, secara signifikan mengurangi kemampuan alam untuk menahan air hujan.
Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum memperburuk situasi. Skema Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) menjadi celah pencucian kayu ilegal, dengan temuan 13 PHAT bermasalah di Batang Toru menunjukkan lemahnya pengawasan jalur legalisasi kayu.
Dampak Nyata ke Kehidupan dan Ekonomi
Bencana ini bukan hanya soal angka statistik. Ini tentang nyawa yang hilang, keluarga yang hancur, dan masa depan yang terampas. Per 8 Desember 2025, korban meninggal meningkat menjadi 961 jiwa, dengan 293 orang masih hilang dan 962.200 orang terpaksa mengungsi.
Kerusakan infrastruktur juga masif. Tercatat 157.600 unit rumah rusak, 1.200 unit fasilitas umum, 199 unit fasilitas kesehatan, 534 unit fasilitas pendidikan, dan 497 unit jembatan. Beberapa desa bahkan dilaporkan lenyap tersapu banjir dan berubah menjadi aliran sungai. Dampak ekonominya pun luar biasa. Lahan pertanian hancur, akses jalan terputus, dan sistem sosial-ekonomi lumpuh. Kerugian jangka panjang dari deforestasi justru jauh lebih besar daripada keuntungan jangka pendek yang diraup korporasi.
Solusi: Investasi pada Pemulihan Ekosistem
Yang bikin frustrasi adalah bencana ini sebenarnya bisa dicegah. Pakar UGM memperingatkan bahwa tanpa tindakan korektif signifikan, puncak musim hujan di masa depan bisa membawa bencana serupa. Alam memiliki kapasitas terbatas untuk menahan cuaca ekstrem, dan kapasitas itu sangat bergantung pada integritas lingkungan.
Solusinya bukan rocket science. Perlindungan hutan dan konservasi DAS harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu menegakkan aturan tata ruang berbasis mitigasi bencana dan menghentikan laju deforestasi di kawasan rawan banjir secara tegas. Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air strategis juga mendesak dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan sebagai pengendali daur air. Partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga hutan juga krusial. Edukasi tentang pentingnya konservasi harus ditingkatkan, bukan hanya sebagai slogan tapi implementasi nyata.
Pesan untuk Kita Semua
Banjir Sumatera adalah peringatan keras dari alam. Ini bukan "takdir" atau "kehendak Tuhan" ini adalah konsekuensi langsung dari pilihan-pilihan yang kita buat sebagai masyarakat. Ketika hutan dibabat untuk keuntungan jangka pendek, kita sedang menggadaikan keselamatan generasi masa depan.
Kamu mungkin berpikir, "Apa yang bisa saya lakukan?" Jawabannya: banyak. Mulai dari mendukung produk ramah lingkungan, tidak membeli produk dari perusahaan perusak hutan, hingga aktif menyuarakan pentingnya konservasi. Tekanan publik bekerja perusahaan dan pemerintah akan bergerak jika kita semua menuntut perubahan.
Jangan tunggu sampai bencana berikutnya datang. Investasi pada pemulihan ekosistem hari ini adalah jaminan keselamatan besok. Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita bisa memutus rantai bencana ekologis ini. Yuk, mulai sekarang!
Sumber Referensi
- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2025). Data Bencana Banjir dan Longsor Sumatera. https://bnpb.go.id/
- Kompas.com. (2025). Bertambah Lagi Korban Jiwa Banjir Sumatera. https://nasional.kompas.com/
- Universitas Gadjah Mada. (2025). UGM Expert: Severe Sumatra Flash Floods Driven by Upper Watershed Forest Degradation. https://ugm.ac.id/
- NU Online. (2025). Akar Penyebab Banjir dan Longsor Sumatra: Deforestasi Masif dan Hilangnya Fungsi Hidrologis Kawasan Hulu. https://www.nu.or.id/
- Forest Watch Indonesia. (2024). Data Deforestasi Region Sumatera.
- Mongabay Indonesia. (2025). Peringatan Keras dari Bencana Sumatera. https://mongabay.co.id/
- Liputan6.com. (2025). Fakta di Balik Banjir Sumatera: Hutan 'Digunduli' 3,6 Kali Luas Pulau Bali. https://www.liputan6.com/
- WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). (2025). Legalisasi Bencana Ekologis di Sumatera. https://www.walhi.or.id/
- DetikEdu. (2025). Korban Banjir Sumatera Capai 604 Jiwa, Pakar UGM: Ada Faktor Hutan Rusak di Baliknya. https://www.detik.com/
- Bisnis.com. (2025). Bencana Alam Sumatra: Data Deforestasi dan Konflik Agraria. https://hijau.bisnis.com/