Paradoks Negeri Agraris: Mengapa Ongkos Produksi Pangan Kita Kalah dari Vietnam, dan Bagaimana Inovasi R&D Menjadi Kuncinya?

By Febi Fatia Malikaat December 15, 2025View:
article
Paradoks Negeri Agraris: Mengapa Ongkos Produksi Pangan Kita Kalah dari Vietnam, dan Bagaimana Inovasi R&D Menjadi Kuncinya?

Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan aksi Menko Pangan Zulkifli Hasan yang viral saat memanggul karung beras ketika meninjau korban banjir di Sumatera. Aksi ini menjadi sorotan tajam di media sosial pada awal Desember 2025 ini [1]. Dalam responsnya, beliau menegaskan bahwa hal tersebut adalah aktivitas biasa baginya yang memiliki latar belakang keluarga petani. Aksi turun ke lapangan ini patut diapresiasi sebagai simbol kedekatan pemerintah dengan masalah riil di lapangan.


Namun, di balik karung beras yang dipanggul tersebut, tersimpan beban berat yang jauh lebih kompleks, yakni adanya fakta bahwa beras tersebut diproduksi dengan ongkos yang jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga. Meski pejabat rela berkeringat memanggul beras, realitas struktur ekonomi pangan kita tetap “pincang”. Mengapa biaya produksi (cost of production) pangan di Indonesia begitu tinggi hingga kalah saing dengan Vietnam, dan bagaimana kita mengatasinya?


Inefisiensi Biaya Usaha Tani sebagai Akar Masalah

Secara struktural, petani Indonesia mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar untuk menghasilkan satu kilogram beras dibandingkan petani di Vietnam atau Thailand. Masalah ini bukan sekadar opini, melainkan telah terkonfirmasi secara fakta. Data dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan anomali yang terus berlanjut hingga kuartal ketiga 2025. Meskipun produksi mengalami peningkatan, harga beras di tingkat konsumen dan produsen tetap tinggi. CIPS menyoroti bahwa kenaikan harga produsen (petani) tumbuh lebih cepat dibandingkan harga konsumen, mengindikasikan beban biaya input yang berat [2].


Secara historis, data pembanding dari IRRI (International Rice Research Institute) yang sering dirujuk dalam studi ekonomi pertanian mencatat bahwa biaya produksi satu kilogram beras di Indonesia bisa mencapai 2,5 kali lipat lebih mahal dibandingkan Vietnam (sekitar Rp4.000-an vs Rp1.600-an per kg dalam konversi nilai riil saat studi dilakukan) [3].


Ketertinggalan Skala Ekonomi dan Teknologi

Vietnam mampu menekan biaya karena mereka menerapkan economies of scale dan mekanisasi. Sebaliknya, riset World Bank dalam Indonesia Economic Prospects secara konsisten menyoroti bahwa produktivitas pertanian Indonesia terhambat oleh kurangnya adopsi teknologi dan kerentanan terhadap gejolak harga pangan global [4].


Tanpa riset yang kuat dalam benih unggul dan teknik budidaya, yield (hasil panen per hektar) kita kalah kompetitif, memaksa penggunaan input produksi menjadi lebih boros untuk hasil yang sama.


Kerugian Finansial Akibat Masalah Pasca Panen

Tingginya ongkos produksi juga diperparah oleh kerugian pasca-panen (Food Loss). Kajian komprehensif dari Bappenas mencatat angka Food Loss and Waste di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun [5].

Hal ini mencerminkan inefisiensi raksasa. Tanpa intervensi teknologi pengolahan pangan yang mumpuni, industri pangan kita sedang memboroskan sumber daya di sepanjang rantai pasok.


Transformasi Industri Melalui R&D dan Inovasi Teknologi

Kita tidak bisa mengubah struktur kepemilikan lahan dalam semalam, namun kita bisa meningkatkan efisiensi proses dan nilai tambah melalui peran strategis lembaga yang berfokus pada riset dan konsultan seperti AGAVI. Jika ongkos di hulu sulit ditekan secara instan, maka efisiensi di hilir atau pengolahan wajib ditingkatkan melalui langkah-langkah berikut:

1.Hilirisasi Berbasis Riset Formulasi

AGAVI membantu industri pangan melakukan formulasi produk yang lebih efisien. Jika bahan baku utama mahal, riset dapat menemukan substitusi bahan lokal yang lebih cost-effective tanpa mengurangi kualitas gizi.

2.Penerapan Teknologi Pengawetan demi Efisiensi Logistik

Salah satu penyumbang tingginya harga pangan adalah biaya logistik. Dengan penerapan teknologi pangan yang tepat seperti teknologi retort yang dikonsultasikan oleh AGAVI, produk pangan dapat didistribusikan tanpa cold chain yang mahal.

3.Validasi Proses Guna Menekan Tingkat Produk Gagal

Melalui pelatihan di AGAVI Institute, pelaku industri diajarkan mematuhi standar keamanan pangan untuk meminimalisir produk gagal (reject). Semakin efisien proses produksi di pabrik, semakin besar kemampuan industri untuk mengkompensasi tingginya harga bahan baku.

Aksi memanggul beras adalah simbol kepedulian, namun inovasi teknologi adalah solusi keberlanjutan. Indonesia tidak kekurangan lahan, melainkan kekurangan efisiensi. Dengan mengintegrasikan riset (R&D) yang kuat, kita dapat mengubah posisi dari negara dengan ongkos produksi tinggi menjadi kompetitor tangguh di pasar pangan global.


Sumber:

[1] Berita Viral Zulhas: Zulhas Buka Suara soal Aksi Panggul Beras Buat Korban Bencana Dikritik. (CNN Indonesia, 8 Desember 2025).

[2] Data Harga Beras CIPS (Terbaru Sep 2025): Production Increases, Yet Prices Remain High: Portrait of the Rice Price Anomaly in Indonesia. (CIPS Indonesia, 8 Desember 2025).

[3] Komparasi Biaya Produksi (Indef/IRRI): Produksi Beras RI 2,5 Kali Lebih Mahal dari Vietnam dan Thailand. (CNN Indonesia, 19 Agustus 2022).

[4] World Bank Group: Indonesia Economic Prospects (IEP). (23 Juni 2025).

[5] Laporan Bappenas: Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia. (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas 2021).